Setelah dunia mengalami krisis global di akhir 2008, kini diramalkan efeknya baru mulai terasa di Asia khususnya Indonesia di penghujung tahun ini. Banyak pihak menyayangkan pemerintah yang tidak tanggap terhadap masalah ini.
Alih-alih berkonsentrasi pada pencegahan efek dari krisis, pemerintah malah lebih berkonsentrasi pada berbagai isu pemilu yang tak kunjung berkesudahan. Dalihnya, masalah krisis sudah diselesaikan di tahun lalu sehingga sekarang hanya tinggal mengeksekusi kebijakan yang telah ditetapkan.
Benarkah semudah itu? Para ahli meramalkan, krisis yang sekarang terjadi lebih mirip silent killer.
Berbeda dengan krisis yang terjadi di tahun 1998 yang lebih mirip terjangan tsunami dimana dalam satu waktu secara bersamaan sendi-sendi ekonomi runtuh, krisis kali ini lebih berbahaya karena multiplier effectnya. Menyerang satu sendi ekonomi yang akan melemahkan bagian yang lain dan yang akan melemahkan bagian lainnya lagi.
Di akhir drama ini, setelah semua bagian terinfeksi, efeknya di masyarakat mirip bola salju besar yang digelindingkan dari puncak bukit yang tinggi kemudian menabrak desa di lembah dengan ukuran dan kecepatan maksimal. Sebuah kehancuran yang nyaris sempurna. Dan semua itu luput dari perhatian karena fase satu dari krisis ini hanya menghantam perusahaan-perusahaan multinasional yang langsung merasakan dampak krisis.
Bila anda hidup dan bekerja di Jakarta, anda akan mengerti bahwa banyak perusahaan sekarang sudah mulai melakukan banyak efisiensi. Mulai dari pemotongan budget hingga ke pengurangan karyawan besar-besaran. Selanjutnya bisa ditebak. Efisiensi ini akan mulai menjalar ke cabang di daerah, subkontrak dan supplier.
Menurut pengamat, sebenarnya masih ada kesempatan untuk memotong efek bola salju ini dengan berkonsentrasi pada faktor-faktor penting yang bisa menghentikan laju krisis atau bisa memberikan stimulasi bagi perekonomian untuk bertumbuh. Masalahnya, faktor tersebut hingga kini belum bisa dideteksi dengan jelas.
Belajar dari Jepang
Sepintas, ada kemiripan antara krisis yang terjadi sekarang dengan apa yang terjadi di Jepang di tahun 60-an. Pertama dari struktur ekonomi. Struktur ekonomi Indonesia kini sedang mengalami pelunakan besar-besaran.
Bila tadinya struktur ekonomi Indonesia di dominasi oleh industri agrobisnis dan manufaktur yang banyak menyediakan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari, kini industri lebih condong ke jasa. Banyaknya konsultan, agency dan supplier yang bergerak di industri kreatif mengindikasikan hal itu.
Tidak ada yang salah dengan perkembangan industri jasa yang masif akhir-akhir ini. Hal ini baru bermasalah saat pertumbuhan industri tersebut tidak seimbang dengan pertumbuhan industri manufaktur yang merupakan tulang punggung sektor riil.
Industri jasa yang identik dengan pemenuhan kebutuhan tertier manusia supply-nya berlebih. Tidak sebanding dengan demand yang sebenarnya. Di lain pihak, agrobisnis dan industri manufaktur yang memenuhi kebutuhan mendasar manusia tidak diberdayakan dengan baik. Akibatnya, pertumbuhan industri ini kian melambat tiap tahunnya. Hasilnya, sudah bisa ditebak. Selain harga barang primer semakin mahal, impor pun semakin menggila karena barang semakin langka.
Akibatnya, seperti yang terjadi di Jepang, ekonomi menjadi terpuruk karena sektor yang berhubungan langsung dengan rakyat kebanyakan susah bangkit.
Untungnya, saat itu pemerintah Jepang segera menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Perhatian terhadap industri manufaktur terutama di bidang otomotif dan elektronik yang saat itu sedang menemukan momentumnya ditingkatkan. Selain itu, sektor agrobisnis juga dibenahi dengan ditemukannya berbagai teknik pertanian yang dapat meningkatkan efisiensi lahan, namun tetap bisa memberikan hasil yang optimal.
Terbukti hanya dalam jangka satu dasawarsa kemudian, Jepang telah kembali menjadi macan Asia yang disegani. Selain industri dasarnya yang menjadi maju dan kuat, industri kreatifnya pun tetap berkembang. Hingga kini, Jepang menjadi salah satu kiblat industri kreatif dunia.
Berbeda dengan Jepang, beda pula respon pemerintah dalam penanganannya. Bukannya berfokus menangani krisis dan hadir dengan solusi terintegrasi, pemerintah malah sibuk melakukan aksi penyelamatan bagi diri dan kelompoknya dan membiarkan rakyat menghadapi masalah ini dengan kemampuan ”seadanya”.
Resolusi
Berhubungan dengan krisis, selalu ada berita baik dan berita buruk. Berita baiknya, dengan krisis ini, kita bisa belajar lebih baik dalam membereskan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan kita, utamanya dengan keuangan. Kita menjadi lebih efisien, alokasi kebutuhan yang semakin baik, pengalaman dan pelajaran yang berharga dalam menangani masalah dan akhirnya, performa kita bisa jadi meningkat berlipat-lipat setelah lolos dari ujian ini. Apa yang tidak membunuhmu, akan menguatkanmu.
Berita buruknya, sebelum ”guru kehidupan” ini memberikan ilmunya, dia memberikan pelajaran terberat terlebih dahulu. Sebagian anda tentu masih ingat saat krisis tahun 1998 menghantam, harga barang naik sedemikian tinggi. Nyaris tiga kali lipat dalam hitungan minggu. Pada saat yang bersamaan, penghasilan kita tidak naik, bahkan berkurang membuat Rupiah menjadi semakin tak bernilai. Benarkah begitu?
Seperti sudah saya sampaikan diatas, meskipun sama-sama krisis, karakter krisis kali ini berbeda dengan krisis sebelumnya. Artinya, sebelum masa-masa terburuk itu sampai, kita masih ada waktu untuk bertindak dan berbuat sesuatu untuk meminimalisir dampaknya.
Melek Finansial, the way out
Meskipun topik ini sudah diajarkan bertahun-tahun lalu oleh Robert Kiyosaki, namun belum banyak yang mengerti benar maknanya. Hal inilah yang membuat financial literacy (bebas dari kebutaan financial/melek financial) menjadi kian penting artinya. Perubahan kecil inilah yang bisa membuat perbedaan besar diakhirnya. Saat krisis datang, seberapa besar efek krisis tersebut mempengaruhi kehidupan anda menunjukkan kecerdasan anda mengatur keuangan dan (suka atau tidak suka) kehidupan anda.
Sudah banyak orang yang membuktikan bahwa berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga lebih dari 90 persennya bersumber dari masalah finansial. Dengan asumsi sederhana bahwa setiap kita adalah bagian dari keluarga, mudah untuk menyimpulkan bahwa lebih dari 90% masalah anda dapat diselesaikan jika anda melek finansial.
Dalam menyelesaikan masalah finansial, alih-alih mengajarkan seseorang untuk mendapatkan uang lebih banyak, Robert malah berfokus pada bagaimana cara untuk membelanjakan uang dengan lebih baik. Logikanya jelas, tidak semua orang bisa meningkatkan penghasilan dengan cepat. Namun hampir setiap orang bisa belajar mengendalikan hati dan pikirannya untuk membelajakan uang dengan tepat.
Selain itu, penyakit keuangan yang kini melanda banyak orang dengan berbagai latar belakang setelah mendapatkan penghasilan dalam tingkatan apapun, pengeluaran mereka naik dengan drastis. Seringkali lebih banyak daripada apa yang dapat mereka hasilkan. Siklus pun kembali berputar. Mereka menginginkan tingkat penghasilan yang jauh lebih tinggi.
Dalam hal ini jelaslah bahwa mendapatkan uang dalam jumlah besar bukanlah solusi untuk memperbaiki kehidupan anda menjadi lebih baik. Tidak pula berarti anda lebih tahan menghadapi krisis yang sudah di depan mata. Lebh jauh lagi, dengan penghasilan yang lebih besar BUKAN berarti anda lebih cerdas secara finansial.
Mempunyai pola pikir (mindset) yang benar mengenai keuangan seringkali merupakan ayunan langkah yang tepat saat anda menghadapi krisis. Pola pikir inilah yang nantinya membuat anda dapat menjalankan sekian alternatif solusi yang membuat anda bukan hanya resistant terhadap krisis. Namun juga menyingkap berbagai macam peluang nyata yang hanya ada di tengah kekacauan ini.
Dan di masa-masa perubahan, para pelajar mewarisi dunia
Sementara yang telah belajar menemukan, bahwa diri mereka siap untuk menghadapi dunia yang (bahkan) tidak lagi ada
(by: Roma Muchammad)
(by: Roma Muchammad)
No comments:
Post a Comment